Rabu, 13 Maret 2013

Periodisasi Turunnya Wahyu

Proses dan Cara Turunnya Wahyu



Sebelum menuju kepada pembahasan inti, tidak ada salahnya membahas terlebih dahulu mengenai apa definisi dari wahyu tersebut. Pengertian wahyu secara bahasa adalah bisikan, isyarat cepat, bisikan ke dalam hati, isyarat yang sangat rahasia. Sedangkan menurut istilah wahyu adalah segala sesuatu yang datangnya dari Allah yang secara langsung dihujamkan kedalam hati seorang hamba pilihan (nabi dan rasul).
Dikalangan ulama sampai saat ini sering diperdebatkan bagaimana sebenarnya proses turunnya wahyu tersebut, apakah turunya seperti batu yang dilempar dengan keras? Apakah seperti suara yang sangat keras dan dahsyat? Tentu semunya penuh rahasia yang harus dipecahkan. Tetapi berdasarkan Al-qur’an mengenai proses turunnya wahyu kepada Nabi dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.      Wahyu disampaikan melalui mimpi Nabi Muhammad s.a.w.
2.      Wahyu disampaikan kepada Nabi Muhammad s.a.w dengan cara dibisikkan ke dalam jiwanya. (Qs. Asy-Syura: 51-52)
3.      Wahyu disampaikan dengan cara kedatangan malaikat yang menyerupai seorang laki-laki, sebagaimana Jibril pernah datang kepada Nabi sebagai seorang laki-laki yang bernama Dihyah Ibn Khalifah, seorang laki-laki yang tampan.
4.      Wahyu datang kepada Nabi s.a.w., melalui Jibril yang memperlihatkan rupanya yang asli dengan enam ratus sayap yang menutup langit.
5.      Wahyu disampaikan oleh Allah dengan cara membicarakannya secara langsung kepada Nabi s.a.w., di belakang hijab, baik dalam keadaan Nabi sadar atau sedang terjaga, sebagaimana di malam Isra’, atau Nabi sedang tidur.
6.      Israfil turun membawa beberapa kalimat dan wahyu sebelum Jibril datang membawa wahyu Al-qur’an. Menurut ‘Amir Asy-Sya’by, Israfil menyampaikan kalimat dan beberapa ketetapan kepada Nabi s.a.w., selama tiga tahun, sesudah itu, barulah Jibril datang membawa wahyu Al-qur’an.
7.      Ketika Nabi Muhammad s.a.w., berada di atas langit pada malam Mi’raj, Allah s.w.t., menyampaikan wahyu-Nya kepada beliau tanpa perantara malaikat sebagaimana Allah pernah berfirman secara langsung kepada Nabi s.a.w.

8.      Wahyu disampaikan dengan menyerupai suara lebah.
9.      Wahyu disampaikan dengan menyerupai suara gemercikan lonceng, yakni Nabi mendengar suara lonceng sangat keras sehingga beliau tidak kuat menahan gemercingannya. Menurut riwayat-riwayat yang shahih, Nabi s.a.w., menerima wahyu yang datang dengan suara keras menyerupai suara lonceng. Dengan sangat berat, ke luar peluh dari dahi Nabi s.a.w., meskipun ketika itu hari sangat dingin. Bahkan unta yang sedang ditunggangi beliau menderum ke tanah. Pernah pula Nabi menerima wahyu dengan cara yang sama, ketika itu karena beratnya, beliau letakkan pahanya di atas paha Zaid bin Tsabit dan Zaid pun merasakan betapa beratnya paha Nabi s.a.w. (Subhi Shahih, 1985: 25).
Kritikan Kaum Oreintalis Terhadap Proses Turunnya Wahyu
Dari sekian banyak cara wahyu turun separti yang disebutkan di atas, ternyata di permasalhkan oleh kaum Oreintalis, salah satunya H. A. R. Gibb dalam Muhammedanism (1989: 28) meraka memandang bahwa cara-cara penyampaian wahyu kepada Nabi Muhammad s.a.w., merupakan cara-cara yang tidak masuk akal, dan ketika itu Muhammad adal dalam tidak sadar, bahkan menyatakan Muhammad terkena panyakint ayan dan “sawan” (lihat dalam Hasbi Ash-Shidieqie, Sejarah Ilmu Tafsir, hlm 23). Alasan-alasan oreintalis berkaitan dengan hal itu adalah sebagai berikut:
·         Wahyu yang disampaikan melalui mimpi. Dalam pandangan ilmu jiwa, orang yang sedang bermimpi adalah orang yang sedang tidak sadar atau berada di alam bawah sadar. Dengan demikian, sangat tidak logis jika orang yang sedang tidak sadar menerima pesan-pesan dari Tuhan dengan baik dan benar. Bahkan dalam hukum Islam sendiri ditegaskan bahwa orang yang sedang tidur tidak termasuk sebagai orang yang wajib melaksanakan hukum atau hukum menjadi gugur disebabkan mukallaf sedang tidur.
·         Wahyu disampaikan dengan gemercingan lonceng, suara lebah, dan bisikan yang rahasia adalah kenaifan karena tidak ada riwayat yang menjelaskan bahwa Muhammad memahami bahasa lebah dan bahasa lonceng.
·         Wahyu disampaikan secara langsung oleh Jibril dengan rupa aslinya, saat itu Muhammad ketakutan hingga tidak sanggup menerima kalimah wahyu. Dengan demikian, penyampaian wahyu dengan cara tersebut tidak komonikatif apalagi keadaan psikologis Muhammad terganggu dengan bentuk dan rupa Jibril yang asli yang menakutkan Muhammad.
·         Wahyu disampaikan melalui Jibril yang menyerupai seoran laki-laki, hal ini jelas bukan Jibril yang asli, sebab yang asli bukan manusia. Dengan demikian, wahyu disampaikan tidak orisinil.
·         Wahyu disampaikan oleh Tuhan secara langsung ketika Muhammad sedang Isra’ dan Mi’raj. Hal ini jelas tidak masuk akal, bahkan bertentangan dengan dengan ayat Al-qur’an yang menyatakan bahwa Allah adalah Dzat yang tidak sebanding dengan makhluk-Nya yang tidak akan dapat dilihat dengan kasat mata. Dapat dilihat dalilnya dalam surah Asy-Syura: 51 yang artinya: “Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir  atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang dia kehendaki. Sesungguhnya dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.” Dalam surah Asy-Syura ayat 51 menyatakan dengan jelas dan tegas bahwa manusia mana pun dan siapa pun tidak akan dapat berkononikasi secara lansung dengan Allah, sebagaimana halnya manusia dengan manusia berhadap-hadapan, kecualia melalui perantaraan wahyu yang disampaikan melalui bisikan manusia, di belakang hijab atau melalui Jibril yang menyerupai seseorang.
Tuduhan oreintalis terhadap orisinalitas wahyu Al-qur’an yang disampaikan kepada Nabi sebagai bualan semata-mata dan suatu kejadian yang tidak normal, tentu memerlukan jawaban yang rasional dan filosofis. Bahwa wahyu sebagai sumber hukum Islam adalah benar, tetapi dengan tuduhan di atas pula, kebenaran statemen itu memerlukan rasionalisasi filosofis sehingga keyakinan terhadap wahyu bukan semata-mata karena adanya legalitas dari ayat-ayat Al-qur’an, melainkan dilengakapi dengan argumentasi ontologis yang kuat, bahwa wahyu Allah itu akurat dan dengan demikia, kitabullah pun senantiasa akurat.  

Sumber : Saebani, Ahmad, Beni –Filsafat Hukum Islam, Bandung: CV Pustaka Setia, 2007.

Sejarah Turunnya al-Quran

Sejarah Turunnya Al Quran

Di bulan suci Ramadhan, seperti biasa setiap malamnya saya melaksanakan shalat tarawih di mesjid Al-Ikhlas yang berada tidak jauh dari rumah. Malam itu, ustadz yang mengisi kultum di mesjid tersebut menceritakan tentang asal mula turunnya Al Quran. Posting berikut ini adalah sedikit resume yang saya buat setelah mendapatkan kultum dari Ustadz tersebut.
Al Quran diturunkan oleh Allah kepada nabi Muhammad SAW melalui perantara malaikat Jibril. Al Quran terdiri dari 30 Juz, 6666 ayat, 114 surah dan diturunkan setahap demi setahap selama kurang lebih dua puluh tiga tahun.

Al Quran diturunkan kepada nabi Muhammad dengan tiga cara, yaitu pertama malaikat Jibril turun dalam wujud manusianya dan membacakan ayat-ayat Al Quran kepada nabi Muhammad, kemudian beliau mengikutinya. Kedua, adalah Al Quran turun tanpa perantara malaikat Jibril, sehingga tiba-tiba saja ayat-ayat Al Quran tersebut muncul dalam pikiran nabi Muhammad dan yang ketiga adalah Al Quran turun dengan didahului terdengarnya suara gemerincing lonceng yang sangat kuat. Cara terakhir adalah cara yang dirasa nabi Muhammad sangat berat saat menerima wahyu Allah SWT.

Al Quran yang telah diturunkan ini kemudian diajarkan kepada keluarga dan sahabat-sahabat nabi terlebih dahulu sebelum akhirnya disyiarkan secara terang-terangan kepada masyarakat luas. Pada awalnya Al Quran ini hanya dituliskan pada media seadanya saja seperti kulit unta, tulang binatang dan lain-lain, mengingat pada zaman itu belum ditemukan manfaat kertas sebagai media untuk menuliskan Al Quran.

Pada zaman nabi Muhammad, Al Quran tidak diperbolehkan untuk ditulis, melainkan hanya dihafalkan saja di luar kepala baik oleh nabi Muhammad maupun sahabat-sahabatnya. Sementara itu, untuk menjaga kemurnian Al Quran, setiap malam di bulan Ramadhan malaikat Jibril turun ke bumi dan membacakan ayat-ayat Al Quran tersebut dan nabi Muhammad mendengarkannya dengan seksama. Nabi Muhammad sendiri melarang penulisan Al Quran ini dalam media apapun dalam satu kesatuan.

Setelah nabi Muhammad meninggal dunia, tongkat kepemimpinan Islam diberikan kepada kalifah Abu Bakar As syidiq. Pada masa kepemimpinan Abu Bakar ini, orang-orang Islam yang tipis imannya mulai banyak yang meninggalkan Islam. Mereka meninggalkan semua perintah-perintah Allah seperti shalat, puasa dan zakat. Selain itu, bermunculan pula nabi-nabi palsu yaitu orang-orang yang mengaku sebagai penerus nabi Muhammad.

Bayangkan saja, ternyata sejak ratusan tahun yang lalu sudah banyak bermunculan nabi-nabi palsu ke dunia ini. Maka tentu bukan suatu hal yang mengherankan jika sampai posting ini ditulispun masih saja ada orang-orang yang mengaku dirinya adalah nabi. Di Indonesia yang sebagian besar penduduknya muslim ini saja ada banyak kasus kemunculan nabi palsu. Di antaranya Ahmad Mussadeq, Lia Eden dan lain-lain.

Kasus terbaru dan masih hangat adalah masalah aliran Ahmadiyah yang menganggap bahwa Ahmad Mirza adalah nabi penerus nabi Muhammad. Padahal Ahmad Mirza adalah nabi yang diangkat oleh ratu Inggris atas jasa-jasanya memimpin sebagian umat muslim Pakistan untuk berperang melawan muslim-muslim yang memberontak kepada kerajaan Inggris yang saat itu menjajah Pakistan. Ratu Inggris kemudian menyatakan bahwa Ahmad Mirza adalah “Nabi baru” umat Islam yang cinta perdamaian. <---- Tulisan yang dicetak miring adalah tambahan dari penulis sendiri dan bukan merupakan bagian dari kultum.

Kembali lagi ke zaman Kalifah Abu Bakar, dengan munculnya nabi-nabi palsu ini, maka Kalifah Abu Bakar kemudian memerintahkan para sahabat untuk memerangi nabi-nabi palsu dan umat Islam yang tipis imannya itu. Sayangnya, banyak sahabat nabi yang hafal Al Quran dalam rangka menegakkan agama Islam kemudian berguguran satu demi satu.

Melihat hal ini, kemudian Umar bin Khatab menyarankan kepada Kalifah Abu Bakar untuk mengumpulkan ayat-ayat Al Quran dan menuliskannya menjadi satu kitab saja. Awalnya, ide ini ditentang oleh Kalifah Abu Bakar, karena menurut beliau nabi Muhammad sendiri yang melarang penulisan ayat-ayat Al Quran tersebut, namun setelah melalui perdebatan panjang dan demi menegakkan agama Islam, akhirnya Kalifah Abu Bakar pun mengalah. Setelah itu, dibentuklah panitia pengumpulan dan penulisan Al Quran tersebut.

Ayat-ayat Al Quran itu kemudian dikumpulkan dan ditulis ulang oleh Zaid bin Tsabit. Pada masa Kalifah Umar bin Khatab, kitab Al Quran hanya berjumlah lima buah dan disimpan di lima tempat yang berbeda antara lain, Mekkah, Basrah, Madinah, dan disimpan oleh Kalifah Umar sendiri.

Pada era kepemimpinan Utsman bin Affan, beliau berhasil menaklukkan Syria yang terlebih dahulu sudah mengenal kertas sebagai media untuk menulis. “Teknologi baru“ ini kemudian dimanfaatkan untuk memperbanyak kitab Al Quran. Akibatnya, sekarang semua orang dapat membaca, mengkaji dan memperdalam Al Quran dimanapun dan kapanpun juga. Bahkan, pada zaman sekarang Al Quran diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dengan tentu saja tetap menuliskan ayat-ayat asli Al Quran yang masih berbahasa Arab, sehingga kemurnian Al Quran Insya Allah masih terjaga kemurniannya bahkan sampai sekarang sekalipun. Terjemahan yang ada dalam Al Quran ini semata-mata hanya untuk mempermudah umat Islam untuk mempelajari Al Quran.